Cara Pengendalian Sosial
Supaya tercipta ketertiban sosial, masyarakat perlu menyikapi
berbagai perilaku menyimpang di masyarakat. Upaya untuk mengembalikan
kondisi masyarakat itu dapat dilakukan melalui cara-cara berikut.
a. Pengendalian Sosial melalui Sosialisasi
Perilaku orang dikendalikan dengan mensosialisasikan peran yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut dilakukan melalui penciptaan kebiasaan dan rasa senang. Sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan, dan adat-istiadat. Para anggota masyarakat dididik dalam kebiasaan yang sama. Oleh karena itu, mereka cenderung menjadi alat ukur yang baik bagi perilaku seseorang dalam sebuah kelompok. Bilamana semua anggota masyarakat memiliki pengalaman sosialisasi yang sama, maka mereka secara sukarela dan tanpa berpikir panjang akan berperilaku sama. Mereka akan menyesuaikan diri dengan harapanharapan sosial, tanpa menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan penyesuaian ataupun tanpa adanya pertimbangan yang serius.
Melalui sosialisasi, seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakatnya. Hal tersebut berarti menjadikannya sebagai bagian dari perilaku otomatis seseorang yang dilakukan tanpa berpikir. Orang yang menginternalisasikan suatu nilai secara penuh akan menerapkan nilai tersebut meskipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Keinginannya untuk melanggar nilai tersebut sangat kecil. Jika dia sungguh-sungguh tergoda, maka hati kecilnya akan mencegah pelanggaran tersebut.
b. Pengendalian Sosial melalui Tekanan Sosial
Lapiere (1954) melihat pengendalian sosial terutama sebagai suatu proses yang lahir dari kebutuhan individu akan penerimaan kelompok. Ia mengatakan bahwa kelompok akan sangat berpengaruh jika anggotanya sedikit dan akrab, jika kita ingin tetap berada dalam kelompok itu untuk jangka waktu lama, dan kita sering berhubungan dengan para anggota kelompok tersebut. Kebutuhan manusia akan penerimaan kelompok merupakan alat penunjang yang paling hebat yang dapat dipakai untuk menerapkan keinginan kelompok demi pengejawantahan norma-norma kelompok. Anggota baru suatu kelompok lebih berhati-hati dalam menyesuaikan diri dan jauh lebih setia daripada anggota lama.
Pengendalian kelompok dibedakan sebagai berikut.
1) Pengendalian Kelompok yang Informal Primer
Pengendalian dalam kelompok primer terjadi secara informal, spontan, dan tanpa direncanakan.Para anggota kelompok bereaksi terhadap perilaku sesamanya. Bilamana seorang anggota kelompok menyakiti atau menyinggung perasaan anggota lainnya, maka mereka itu mungkin akan menunjukkan perasaan ketidaksenangannya dengan jalan mengejek, menertawai, mengkritik, atau bahkan menyisihkan anggota tersebut dari pergaulan. Apabila perilaku seorang anggota menyenangkan, maka imbalan yang biasa diterimanya ialah perasaan diterima yang menyenangkan.
Manusia normal di mana saja memerlukan dan berupaya memperoleh pengakuan dari orang lain, terutama dari orang-orang yang termasuk dalam kelompok primer. Kelompok primer memberikan keintiman manusiawi.Tuntutan kebutuhan akan penerimaan dan pengakuan semacam itu membuat kelompok primer berperanan sebagai lembaga pengendalian yang sangat hebat.
2) Pengendalian Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder pada umumnya lebih besar, lebih impersonal, dan mempunyai tujuan yang khusus. Kita tidak menggunakan kelompok ini untuk memenuhi kebutuhan kita akan hubungan yang intim dan manusiawi. Tetapi kita membutuhkannya untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan. Pengendalian formal merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh kelompok sekunder, misalnya peraturan resmi dan tata cara yang distandardisasi; propaganda; hubungan masyarakat; rekayasa masyarakat; kenaikan golongan atau pangkat; pemberian gelar, imbalan, dan hadiah; serta penjatuhan sanksi dan hukuman formal.
c. Pengendalian Sosial melalui Kekuatan
Pada masyarakat yang memiliki penduduk dalam jumlah yang besar dan kebudayaan yang lebih kompleks diperlukan pemerintahan formal, peraturan hukum, dan pelaksanaan hukuman.Apabila seseorang tidak mau menaati peraturan, maka kelompok akan mencoba memaksanya untuk taat pada peraturan tersebut. Namun pada kelompok yang besar, keberadaan individu terlalu sulit untuk dapat dikendalikan oleh tekanan kelompok secara informal.
Itulah sebabnya masyarakat konvensional kadang menggunakankekuatandalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal demi memaksakan terciptanya kadar konformitas minimum yang diperlukan. Kekuatan itu tidak selamanya berhasil, namun tetap dipergunakan pada setiap masyarakat yang kompleks.
Agar warga masyarakat berperilaku sesuai dengan norma sosial, Koentjaraningrat juga menyarankan beberapa cara yang bisa ditempuh.
Pertama, dengan mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan adat-istiadat yang ada. Jika warga yakin pada kelebihan yang terkandung dalam aturan sosial yang berlaku, maka dengan rela warga akan mematuhi aturan itu.
Kedua, dengan memberi ganjaran kepada warga masyarakat yang biasa taat. Pemberian ganjaran melambangkan penghargaan atas tindakan yang dilakukan individu. Selanjutnya, individu akan termotivasi untuk mengulangi tindakan tersebut.
Ketiga, mengembangkan rasa malu dalam jiwa masyarakat yang menyeleweng dari adat-istiadat. Individu yang menyimpang dari aturan dihukum agar jera dan tidak mengulanginya kembali.
Keempat, mengembangkan rasa takut dalam jiwa warga masyarakat yang hendak menyeleweng dari adat-istiadat dengan berbagai ancaman dan kekuasaan. Rasa takut timbul dari pengalaman individu setelah dikenai sanksi, atau dari pengamatan terhadap penerapan sanksi atas orang lain. Rasa takut itu mencegah individu untuk melakukan pelanggaran aturan
a. Pengendalian Sosial melalui Sosialisasi
Perilaku orang dikendalikan dengan mensosialisasikan peran yang sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut dilakukan melalui penciptaan kebiasaan dan rasa senang. Sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan, dan adat-istiadat. Para anggota masyarakat dididik dalam kebiasaan yang sama. Oleh karena itu, mereka cenderung menjadi alat ukur yang baik bagi perilaku seseorang dalam sebuah kelompok. Bilamana semua anggota masyarakat memiliki pengalaman sosialisasi yang sama, maka mereka secara sukarela dan tanpa berpikir panjang akan berperilaku sama. Mereka akan menyesuaikan diri dengan harapanharapan sosial, tanpa menyadari bahwa mereka sedang melaksanakan penyesuaian ataupun tanpa adanya pertimbangan yang serius.
Melalui sosialisasi, seseorang menginternalisasikan (menghayati) norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakatnya. Hal tersebut berarti menjadikannya sebagai bagian dari perilaku otomatis seseorang yang dilakukan tanpa berpikir. Orang yang menginternalisasikan suatu nilai secara penuh akan menerapkan nilai tersebut meskipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Keinginannya untuk melanggar nilai tersebut sangat kecil. Jika dia sungguh-sungguh tergoda, maka hati kecilnya akan mencegah pelanggaran tersebut.
b. Pengendalian Sosial melalui Tekanan Sosial
Lapiere (1954) melihat pengendalian sosial terutama sebagai suatu proses yang lahir dari kebutuhan individu akan penerimaan kelompok. Ia mengatakan bahwa kelompok akan sangat berpengaruh jika anggotanya sedikit dan akrab, jika kita ingin tetap berada dalam kelompok itu untuk jangka waktu lama, dan kita sering berhubungan dengan para anggota kelompok tersebut. Kebutuhan manusia akan penerimaan kelompok merupakan alat penunjang yang paling hebat yang dapat dipakai untuk menerapkan keinginan kelompok demi pengejawantahan norma-norma kelompok. Anggota baru suatu kelompok lebih berhati-hati dalam menyesuaikan diri dan jauh lebih setia daripada anggota lama.
Pengendalian kelompok dibedakan sebagai berikut.
1) Pengendalian Kelompok yang Informal Primer
Pengendalian dalam kelompok primer terjadi secara informal, spontan, dan tanpa direncanakan.Para anggota kelompok bereaksi terhadap perilaku sesamanya. Bilamana seorang anggota kelompok menyakiti atau menyinggung perasaan anggota lainnya, maka mereka itu mungkin akan menunjukkan perasaan ketidaksenangannya dengan jalan mengejek, menertawai, mengkritik, atau bahkan menyisihkan anggota tersebut dari pergaulan. Apabila perilaku seorang anggota menyenangkan, maka imbalan yang biasa diterimanya ialah perasaan diterima yang menyenangkan.
Manusia normal di mana saja memerlukan dan berupaya memperoleh pengakuan dari orang lain, terutama dari orang-orang yang termasuk dalam kelompok primer. Kelompok primer memberikan keintiman manusiawi.Tuntutan kebutuhan akan penerimaan dan pengakuan semacam itu membuat kelompok primer berperanan sebagai lembaga pengendalian yang sangat hebat.
2) Pengendalian Kelompok Sekunder
Kelompok sekunder pada umumnya lebih besar, lebih impersonal, dan mempunyai tujuan yang khusus. Kita tidak menggunakan kelompok ini untuk memenuhi kebutuhan kita akan hubungan yang intim dan manusiawi. Tetapi kita membutuhkannya untuk membantu menyelesaikan suatu pekerjaan. Pengendalian formal merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh kelompok sekunder, misalnya peraturan resmi dan tata cara yang distandardisasi; propaganda; hubungan masyarakat; rekayasa masyarakat; kenaikan golongan atau pangkat; pemberian gelar, imbalan, dan hadiah; serta penjatuhan sanksi dan hukuman formal.
c. Pengendalian Sosial melalui Kekuatan
Pada masyarakat yang memiliki penduduk dalam jumlah yang besar dan kebudayaan yang lebih kompleks diperlukan pemerintahan formal, peraturan hukum, dan pelaksanaan hukuman.Apabila seseorang tidak mau menaati peraturan, maka kelompok akan mencoba memaksanya untuk taat pada peraturan tersebut. Namun pada kelompok yang besar, keberadaan individu terlalu sulit untuk dapat dikendalikan oleh tekanan kelompok secara informal.
Itulah sebabnya masyarakat konvensional kadang menggunakankekuatandalam bentuk peraturan hukum dan hukuman formal demi memaksakan terciptanya kadar konformitas minimum yang diperlukan. Kekuatan itu tidak selamanya berhasil, namun tetap dipergunakan pada setiap masyarakat yang kompleks.
Agar warga masyarakat berperilaku sesuai dengan norma sosial, Koentjaraningrat juga menyarankan beberapa cara yang bisa ditempuh.
Pertama, dengan mempertebal keyakinan para warga masyarakat akan kebaikan adat-istiadat yang ada. Jika warga yakin pada kelebihan yang terkandung dalam aturan sosial yang berlaku, maka dengan rela warga akan mematuhi aturan itu.
Kedua, dengan memberi ganjaran kepada warga masyarakat yang biasa taat. Pemberian ganjaran melambangkan penghargaan atas tindakan yang dilakukan individu. Selanjutnya, individu akan termotivasi untuk mengulangi tindakan tersebut.
Ketiga, mengembangkan rasa malu dalam jiwa masyarakat yang menyeleweng dari adat-istiadat. Individu yang menyimpang dari aturan dihukum agar jera dan tidak mengulanginya kembali.
Keempat, mengembangkan rasa takut dalam jiwa warga masyarakat yang hendak menyeleweng dari adat-istiadat dengan berbagai ancaman dan kekuasaan. Rasa takut timbul dari pengalaman individu setelah dikenai sanksi, atau dari pengamatan terhadap penerapan sanksi atas orang lain. Rasa takut itu mencegah individu untuk melakukan pelanggaran aturan
0 Komentar untuk "Cara Pengendalian Sosial"
Post a Comment
Silahkan ditanyakan jika ada yang bingung